Suatu hari saya menerima puisi yang dibroadcast di BBM dari seorang teman tentang puisi Habibie untuk istri tercintanya ibu Ainun, yang isinya sebagai berikut:”Sebenarnya ini bukan tentang kematianmu, bukan itu. Karena, aku tahu bahwa semua yang ada pasti menjadi tiada di akhirnya, dan kematian adalah sesuatu yang pasti, dan kali ini adalah giliranmu untuk pergi, aku sangat tahu itu.Tapi yang membuatku tersentak sedemikian hebat, adalah kenyataan bahwa kematian benar-benar dapat memutuskan kebahagiaan dalam diri seseorang, sekejap saja, lalu rasanya mampu membuatku menjadi nelangsa setengah mati, hatiku seperti tak ditempatnya, dan tubuhku terasa kosong melompong, hilang isi. Kau tahu sayang, rasanya seperti angin yang tiba-tiba hilang berganti kemarau gersang. Pada air mata yang jatuh kali ini, aku selipkan salam perpisahan panjang, pada kesetiaan yang telah kau ukir, pada kenangan manis selama kau ada, aku bukan hendak mengeluh, tetapi rasanya terlalu sebentar kau disini.Mereka mengira akulah kekasih yang baik bagimu sayang, tanpa mereka sadari, bahwa kaulah yang menjadikan aku kekasih yang baik, mana mungkin aku setia padahal kecenderunganku adalah mendua, tapi kau ajarkan aku kesetiaan, sehingga aku setia, kau ajarkan aku arti cinta, sehingga aku mampu mencintaimu seperti ini. Selamat jalan, Kau dari-Nya, dan kembali pada-Nya, kau dulu tiada untukku, dan sekarang kembali tiada. Selamat jalan sayang, cahaya mataku, penyejuk jiwaku, selamat jalan bidadari surgaku...”.
Terlepas dari benar tidaknya puisi diatas ditulis oleh Habibi atau bukan, tapi satu hal yang sangat membuat saya terharu dan tak kuasa menitikkan air mata adalah sebegitu besarnya cinta Habibi kepada istrinya sehingga beliau begitu setianya mendampingi istrinya sampai saat terakhirnya. Hal inilah yang membuat saya ingin lebih mengetahui siapakah ibu Hasri Ainun Habibie? Kenapa beliau dibanggakan oleh B. J. Habibie? Dari berbagai sumber penelesuran di internet, ternyata apa yang dilakukan oleh Habibie adalah suatu hal sangat wajar. Bahkan jika laki-laki lain yang mempersuntingnya, maka pasti mereka akan melakukan hal yang sama. Ini bukanlah suatu hal yang berlebihan. Setidaknya terlihat dari bagaimana ia melakoni hidup sepanjang sejarahnya. Sejak kecil hingga meninggal dunia, ia adalah seorang perempuan yang nyaris sempurna.
Kehidupan awal
Hasri Ainun Habibie yang memiliki nama asli Hasri Ainun Besari adalah anak keempat dari delapan bersaudara putra dari H.Mohammad Besari, Arti dari nama Hasri Ainun berarti “mata yang indah”. Ia dilahirkan di Semarang, Jawa Tengah pada tanggal 11 Agustus 1937. Ainun menyelesaikan pendidikan dasarnya di Bandung. Ia melanjutkan pendidikan di SLTP dan SLTA yang juga di Bandung. Sekolahnya di SLTP bersebelahan dengan sekolah B.J. Habibie yang kemudian menjadi suaminya. Bahkan saat di SLTA mereka belajar di sekolah yang sama. Hanya saja Habibie menjadi kakak kelasnya. Setelah menamatkan pendidikan SLTA, ia merantau ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikan. Ainun mengambil Fakultas Kedokteran di Universitas Indonesia, Jakarta. Ia lulus sebagai dokter pada tahun 1961.
Berbekal ijazah kedokteran dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tersebut, Ainun Habibie diterima bekerja di rumah sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Di RSCM Ainun bekerja di bagian perawatan anak-anak. Kesan pertama dengan pekerjaan ini secara tidak langsung menjadikan Ainun sangat perhatian pada kondisi anak-anak sepanjang hayatnya. Saat bekerja di sana ia tinggal di sebuah asrama di belakang RSCM, tepatnya di Jalan Kimia, Jakarta. Ia bekerja di rumah sakit tersebut hanya setahun saja, sampai tahun 1962. Setelah menikah dengan Habibie pada tahun 1962 itu juga, ia harus meninggalkan pekerjaan sebagai dokter anak lalu ikut dengan suaminya pergi ke Jerman untuk menyelesaikan pendidikan.
Pernikahan Dengan Habibi
Kisah cinta antara dua anak manusia ini memang sudah terlihat sejak mereka sama-sama sekolah. Rasa cinta tersebut mulai terbesit saat mereka sekolah di SMAK Dago, Kota Bandung. Namun mereka berpisah cukup lama. Setelah lulus SMA, Habibie melanjutkan pendidikannya ke ITB Bandung, namun tidak sempat selesai. Habibie dikirimkan oleh orang tunya ke luar negeri untuk melanjutkan pendidikan. Adalah ibunya yang sangat semangat menyuruhnya belajar ke negeri “Panzeer” tersebut. Ia berangkat dengan biaya dari orang tunya sendiri, dan tidak mendapat beasiswa pemerintah Indonesia, namun pemerintah memberinya izin belajar ke sana. Lalu ia berangkat ke Jerman Barat, untuk melanjutkan pendidikan di sana. Ia masuk ke Universitas Technische Hochscheule di kota Achen, Jerman. Tahun 1960 terhitung Habibie tidak pulang ke Indonesia selama tujuh tahun. Ini membuatnya sangat home sick, terutama ia sangat ingin mengunjungi pusara Bapaknya.
Setelah menanti agak lama, akhirnya Habibie punya kesempatan pulang ke Indonesia. Saat Habibie pulang ke Indonesia, ia berkesempatan menziarahi makam bapaknya di Ujung Pandang. Menjelang lebaran ia pulang ke Bandung dan bertamu ke rumah tetangganya yang lama, keluarga Ainun. Saat itu pula Ainun secara kebetulan sedang mengambil cuti dari tempat kerjanya di RSCM dan pulang ke Bandung. Di sanalah cinta lama bersemi kembali setelah sekian lama mereka tidak bersua. Pertemuan mereka berlanjut di Jakarta. Habibie mengikuti Ainun yang kembali ke Jakarta untuk masuk kerja di RSCM. Di Jakarta Habibie tinggal di Jl. Mendut, rumah kakaknya yang tertua.
Sama-sama tinggal di Jakarta membuat cinta mereka semakin bersemi. Mereka saling berjanji untuk sering bertemu dan merindukan satu sama lain. Habibie kerap menjemput Ainun yang bekerja di RSCM. Pada malam hari mereka pacaran dan melewati waktu dengan sangat indah. Sesekali mereka naik becak dengan jok tertutup, meskipun sebenarnya malam tidak diguyur hujan. Dan ketika mereka semakin dekat, Habibie menguatkan hati untuk mejatuhkan pilihannya pada Ainun. Ia melamar Ainun dan mempersunting menjadi istrinya.Ainun disunting oleh BJ Habibie menjadi istrinya pada tanggal 12 Mei 1962. Mereka menghabiskan bulan madu di tiga kota. Kaliurang, Yogyakarta, dilanjutkan ke Bali lalu diakhiri di Ujung Pandang, daerah asal B. J. Habibie.
Dari pernikahan ini mereka dikaruniai dua orang putra; llham Akbar dan Thareq Kemal dan enam orang cucu. Namun demikian dalam penganugerahan gelar Doktor kehormatan kepadanya oleh Universitas Indonesia, Habibie mengatakan kalau ia punya cucu ribuan jumlahnya: “Saya mau garis bawahi. Di usia saya yang 74 tahun ini, anak biologis saya cuma dua. Cucu biologis saya hanya enam. Tetapi anak cucu intelektual saya ribuan jumlahnya.” Tentu saja yang dimaksudkan Habibie adalah mahasiswanya yang tersebar di berbagai belahan dunia.
Setelah menikah Ainun ikut dengan Habibie yang harus menyelesaikan pendidikan doktoralnya di Jerman. Kehidupan awal di sana dilalui dengan perjuangan yang luar biasa. Setidaknya ia harus bersabar dengan pendapatan yang teramat kecil dari beasiswa Habibie. Namun dengan tekun dan sabar ia tetap menyertai Habibie. Bahkan untuk menghemat ia menjahit sendiri keperluan pakaian bayi yang dikandungnya. Dan disanalah ia mengandung dua putranya, melahirkan dan mebesarkannya.
Pola Pendidikan Terhadap putra-putranya
Ainun adalah seorang ibu yang sangat bertanggung jawab dalam mebesarkan anak-anaknya. Sejak kecil ia membiasakan anak untuk mengembangkan kepribadian mereka sendiri. Ia membebaskan anak-anak untuk berani bertanya tentang hal yang tidak diketahuinya. Dan Ainun akan memberikan jawaban jika ia mampu atau ia akan meminta Habibie jika tidak mampu. Hal ini tentu saja karena ia sadar kalau anak-anak sejak kecil harus dibangun keingintahuan dan kreatifitasnya.Selain itu Ainun juga membiasakan anaknya hidup sederhana. Uang jajan diberikan pas untuk satu minggu. Dengan demikian si anak memiliki kebebasan untuk memilih jajanan yang mereka sukai., dan mengelola uang mereka sendiri. Anak-anak Ainun tumbuh sebagai anak yang menghargai kesederhanaan itu. Pernah mereka harus bolak-balik dari satu toko ke toko lain untuk mendapatkan harga yang pas sebelum membeli suatu barang.Hal yang juga tidak kalah penting dalam mendidik anak adalah membiasakan mereka mengemukakan pendapat dengan mengajak mereka berdiskusi di rumah. Menurut Ainun, jika anak-anak berani mengeluarkan pendapat, artinya mereka sedang belajar dalam hidupnya. Dan bagi orang tua, itulah saatnya melaksanakan kewajiban memberikan bekal bagi kehidupan mereka. Dan benar saja, hasil didikan itu menjadikan kedua anak mereka tumbuh sebagai seorang yang luar biasa. Seperti kita tahu bahwa Ilham Habibie menyelesaikan pendidikan di Muenchen dalam ilmu aeronautika dan meraih gelar PdD dengan predikat summa cumlaude, lebih tinggi dari predikat ayahnya. Sementara Thareq Kemal menyelesaikan Diploma Inggeneur di Braunsweig, Jerman.
Menjadi Ibu Negara
Pada 23 Mei 1998 Ainun menjadi menjadi Ibu Negara setelah B. J. Habibie dilantik sebagai presiden Negera Kesatuan Republik Indonesia yang ketiga menggantikan Presiden Soeharto yang mengundurkan diri karena desakan masyarakat pada awal reformasi. Tidak lama memang, hanya setahun lebih sedikit, selama itu pula Ainun menjadi seorang inspirator untuk sang presiden.
Selama menjadi Ibu negara Ainun menunjukkan dedikasi dan pengabdiannya pada suami dan pada negara sekaligus. Banyak orang yang merasa terkagum-kagum bahkan heran bagaimana Ainun dalam usinya yang tidak lagi muda memiliki energi dan stamina yang seolah tidak pernah habis dalam mengikuti ritme kerja Habibie. Kita tahu tahun 1999 saya menjadi presiden Indonesia dalam keadaan kacau balau. Namun di tengah gemuruh kekacauan ini Ainun mampu menempatkan diri sebagai Ibu Bangsa yang melayani dan mendukung suami seklaigus menjadi “Ibu” untuk 200 juta rakyat Indonesia.
Cinta Sang Suami
“Saya dilahirkan untuk Ainun dan Ainun dilahirkan untuk saya”(B.J. Habibie)
Berbagai kiprah selama hidup bersama Habibie, membuat Habibie menempatkan Ainun sebagai orang yang sangat dekat di hatinya. Yusran Darmawan pernah melihat sendiri bagaimana wujud perhatian mantan presiden ini pada Istrinya. Dalam sebuah seminar yang diadakan oleh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) di kantor BPPT Jakarta, Habibie menjadi keynote speaker. Saat datang Habibie ditemani oleh istrinya, Ainun. Setelah selesai memberikan kuliahnya, semua wartawan datang mengerubunginya untuk wawancara. Pada saat itu pula Habibie tidak peduli dan ia nampak mencari-cari di mana Ainun. Ketika seorang wartawan bertanya tentang pendapatnya atas situasi di Timor Leste, Habibie hanya menjawab singkat. “Maafkan, saya sedang mencari di mana mantan pacar saya. Mana Ainun? Saya belum pernah pisah dengan Ainun. Mana Ainun?”
Wujud cinta ini juga terlihat saat Ainun sudah terbaring di rumah sakit. Selama hampir tiga bulan ini Habibie dikabarkan tidak beranjak dari sisi istrinya. Sejak masuk rumah sakit pada tanggal 24 Maret 2010 silam Habibie memberikan perhatian dan menunjukkan cinta kepada ibu dari anak-anaknya itu. Tentu saja ini terjadi karena Habibie dan Ainun telah banyak melewati berbagai perjuangan dalam menempuh hidup ini. Perjuangan tersebut telah memupuk cinta mereka begitu kuat dan terasa takkan terpisahkan. Selama di rumah sakit juga Habibie menuntun istrinya untuk shalat. Dari sebuah sumber saya dapatkan, pada hari sebelum meninggal dunia, Habibie sempat membimbing istrinya shalat subuh, zuhur dan ashar di rumah sakit tersebut.
Kecintaan Habibi terhadap istrinya juga terlihat dalam proses penantian pengurusan administrasi sebelum jenazah diterbangkan ke tanah airpun Habibie masih mendampingi istrinya. Dalam pesawat beliau masih dekat dengan jenazah almarhumah. Saat tiba di tanah air jenazah diturunkan dari pesawat, beliau masih mendampingi peti jenazah tersebut. Dalam beberapa foto yang diabadikan wartawan jelas nampak Habibie dengan peci hitam berjalan dengan memegang peti jenazah istrinya. Bahkan saat jenazah dibawa ke pemakaman dari rumah duka, Habibie tidak mau naik ke mobil yang telah disediakan untuknya. Ia malah memilih masuk ke dalam ambulan dan duduk di sisi peti jenazah istrinya. Mungkin tidak semua masyarakat yang menyaksikan iring-iringan mobil itu tahu kalau mantan menteri, mantan presiden, orang besar yang dikenal tidak hanya di Indonesia itu berada berdua dengan sang istri dalam ambulan menuju pemakaman.
Dalam sebuah sambutan yang diberikan Habibie setelah upacara pemakaman istrinya ia mengungkapkan rasa cinta itu dengan sebuah kalimat puitis nan indah: “12 Mei 1962 kami dinikahkan. Bibit cinta abadi dititipkan di hati kamu dan hati saya, pemiliknya Allah. Cinta yang abadi dan sempurna. Kamu dan saya, sepanjang masa. Nikmatnya dipatri dalam segala-galanya, satu batin dan perasaanya.” Ungkapan ini bukan hanya pemanis bibir. Habibie telah menunjukkan dalam laku dan perbuatannya. Ia mencurahkan seluruh cinta dan hatinya pada sang istri, Ainun Haibie, sampai ia menutup mata.
Kondisi Kesehatan dan Wafatnya
Menurut Yusuf Effendi Habibi (Adik BJ.Habibi), awal sakit Ainun diketahui saat di Jerman. Ainun mengidap kanker usus besar. Dokter rumah sakit di Jerman kemudian melakukan tindakan operasi untuk mengangkat kanker. "Sekitar 60 persen kanker bisa diangkat. Tapi, 40 persennya masih berkeliaran," jelasnya.Terbang ke Jerman pada Maret lalu, Ainun berencana memeriksa kondisi kesehatannya. Namun, saat diperiksa, dokter langsung menganjurkan rawat inap bagi wanita kelahiran Semarang 11 Agustus 1937 itu. Ainun pun masuk resmi dirawat pada 24 Maret 2010. Demi kesembuhannya, Ainun sempat menjalani sembilan kali operasi. Empat dari operasi tersebut merupakan operasi utama, sedangkan sisanya adalah eksplorasi. Namun, kondisinya tak kunjung membaik.
Hidupnya bahkan hanya ditopang alat bantu. Melihat situasi yang memburuk, keluarga mantan Presiden Baharuddin Jusuf Habibie akhirnya pasrah dan memutuskan untuk melepas semua alat bantu pada pukul 06.00 waktu Jerman atau 12.00 WIB. Ainun pun berpulang setelah melewati masa kritis 1 hari, Pukul 17.05 waktu Jerman, hari Sabtu tanggal 22 Mei 2010, Nyonya Ainun wafat dalam usia 72 tahun, setelah 45 tahun hidup bersama Habibie. Jenazah Hasri Ainun Habibie diberangkatkan tanggal 24 Mei 2010 dari Jerman dan tiba di Jakarta pada tanggal 25 Mei 2010 kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata hari itu juga.. Kepergiannya diiringi keharuan segenap keluarga yang mendampinginya. Demikian pula sang suami, yang merupakan mantan presiden Ke-3 Republik Indonesia Prof Dr Ing Ir Bacharuddin Jusuf Habibie. Ia dikabarkan tak pernah beranjak selama Ainun dirawat.
Innalillahi Wainnailaihi Rajiun, Selamat Jalan ibu, Semoga segala amal ibadah diterima disisi Allah SWT dan semoga engkau bahagia disisiNya. Amin.
REFERENSI
Judul : Cinta Habibi-Ainun Besar SEkali
Alamat : http://ruangberita.com/cinta-habibie-ainun-besar-sekali/
Penulis : Shinta Dewi
Tanggal akses : 31 Mei 2010
Judul : (Revisi) Biografi “Ibu Bangsa” Hasri Ainun Habibi
Alamat : http://sosbud.kompasiana.com/2010/05/23/ainun-habibi-inspirator- sang-presiden-sebuah-catatan-yang-belum-selesai/
Penulis : Sehat Ihsan Shadiqi
Tanggal Akses : 31 Mei 2010
Judul : Bacharuddin Jusuf Habibie
Alamat : http://www.answers.com/topic/bacharuddin-jusuf-habibie
Penulis : answer.com
Tanggal akses : 31 Mei 2010
Senin, 31 Mei 2010
Minggu, 30 Mei 2010
BIODATA (Tugas Mata Kuliah TIK Dalam Pendidikan)
Nama : ANDRIYANI
Pekerjaan : PNS GURU
Instansi : SMAN 1 TENGGARONG (Mengajar Bidang Study Kimia)
Alamat :
Kantor :Jln. Mulawarman No.31 Tenggarong 75514
Rumah :Jln. Bougenville No.29 RT.08 Kel.Sukarame Tenggarong 75514
Telepon :
Kantor : 0541-661137
Rumah : 0541-662321/081346365076
Harapan saya setelah mengikuti mata kuliah Teknologi Informasi dan Komunikasi Dalam Pendidikan adalah bisa memahami dan mengembangkan kemampuan untuk menggunakan dan menyebarluaskan sistem belajar dan pembelajaran dengan menggunakan TIK (berbasis TIK)
Pekerjaan : PNS GURU
Instansi : SMAN 1 TENGGARONG (Mengajar Bidang Study Kimia)
Alamat :
Kantor :Jln. Mulawarman No.31 Tenggarong 75514
Rumah :Jln. Bougenville No.29 RT.08 Kel.Sukarame Tenggarong 75514
Telepon :
Kantor : 0541-661137
Rumah : 0541-662321/081346365076
Harapan saya setelah mengikuti mata kuliah Teknologi Informasi dan Komunikasi Dalam Pendidikan adalah bisa memahami dan mengembangkan kemampuan untuk menggunakan dan menyebarluaskan sistem belajar dan pembelajaran dengan menggunakan TIK (berbasis TIK)
Langganan:
Komentar (Atom)